Sunday, June 10, 2012

Efek Keras Kepala


By: Eileen Rachman & Sylvina Savitri

Terkadang kita tidak habis pikir, mengapa ada orang yang sampai betul-betul menunjukkan sikap ‘kepala batu’. Kita kenal, di jaman dahulu, ada Raja Swedia yang tidak mau menerima adanya tahun kabisat, sehingga Swedia pernah mempunyai perbedaan tanggal dengan bagian dunia lain. Dalam berbagai acara di televisi, kita bisa melihat banyak orang yang melihat segala sesuatu secara “hitam-putih” dan tidak bisa menerima ideologi orang lain. Ada orang yang betul-betul tidak mau mencoba memahami mengapa orang mempunyai ritual atau kebiasaan lain yang berbeda dengan dirinya, sehingga ia seolah selalu menantang perang karena ketidakbisaannya menerima perbedaan. Di dalam perusahaan, jelas-jelas sistem sudah harus diubah karena tuntutan jaman, namun ada saja orang yang tetap berupaya mempertahankan sistem lama. Begitu keras kepalanya beberapa orang, sampai seringkali lembaga perlu secara khusus merancang pelatihan, program ataupun upaya perubahan, yang sebenarnya diwarnai oleh satu hal: kekeraskepalaan individu untuk mempelajari dan mencoba hal atau sistem baru.

Kita memang bisa saja melihat gejala ini sambil tersenyum, karena kita sendiri pun sesekali (ataupun seringkali) menunjukkan sikap keras kepala. Daripada mencoba mendengarkan keterangan orang ataupun bertukar pikiran, kita kadang lebih cepat untuk melontarkan argumen, mempersiapkan tandingan maupun melakukan berbagai upaya untuk melindungi diri dari serangan terhadap keyakinan kita. Bila dipaksa untuk berubah, kita kadang malah berusaha mencari keterangan sendiri, membuat presentasi sendiri, bahkan sibuk menerangkan kerangka berpikir yang menurut kita lebih benar dari orang lain. Pernahkah kita membayangkan betapa besarnya kerugian yang bisa kita alami karena kekeraskepalaan dan sikap tidak mau menerima pendapat yang berbeda? Tidak hanya hubungan baik bisa terluka atau kesempatan berkembang hilang, bahkan “pertumpahan darah” pun bisa terjadi semata karena mempertahankan sikap keras kepala. Bayangkan bagaimana kelompok ataupun perusahaan berkembang, bila para eksekutifnya bertahan dengan sikap keras kepala mempertahankan sistem yang sudah basi. Apa jadinya kalau para menteri dalam kabinet tidak bisa menerima masukan ataupun permintaan dari departemen lain? Betapa runyamnya bila lembaga ataupun partai politik tidak memikirkan kooperasi, sinergi atau sekadar koordinasi, hanya karena sikap ‘keras kepala’?


Bukan Salah individu

Ada orang yang merasa sikap keras kepalanya bukan masalah, karena tidak menyadari bahwa sikap ini menghambat,“Memang saya keras kepala, so what?”. Ada juga individu yang sedikit-banyak bangga dengan kekeraskepalaannya, malah berkomentar,”Kalau tidak ada yang keras kepala, perusahaan ini tidak jadi begini.” Individu yang keras kepala tidak mau berubah kerap mempermasalahkan lingkungan daripada melakukan introspeksi diri, “Yah, gimana kita mau berubah, kalau kultur di negara kita seperti ini.” Semua bentuk pembenaran ini, tentu tidak akan memperbaiki keadaan. “Kepala batu” baru bisa dilunakkan bila individu sadar dirinya keras kepala, yang kemudian diikuti oleh keinginan untuk berubah yang kuat. Bila seseorang mengakui, “Ya, saya sangat sadar kelemahan saya ini, namun rasanya begitu sulit untuk mengubahnya.”, di sinilah kita akan melihat titik terangnya.

Seorang ahli mengatakan bahwa sikap keras kepala bukan “salah” individu, namun “kesalahan” dari kekuatan bawah sadar dari individunya. Kita memasukkan pengalaman pahit, manis, pengetahuan, keyakinan, penilaian, kebiasaan diri kita, ke alam bawah sadar kita. Alam bawah sadar kita mengunci materi-materi tersebut, terutama bila kebiasaan-kebiasaan kita ini mendukung dan menguatkan keyakinan kita. Hal-hal yang berada di alam bawah sadar, tidak bisa dibongkar dengan mudah. Kita bahkan sangat sulit mengingat-ingat kembali apa yang pernah terlintas di alam sadar kita dan terkubur dalam. Sayangnya, alam bawah sadar kita tidak mempunyai mekanisme koreksi secara otomatis. Jadi ibarat sebuat CPU komputer, alam bawah sadar kita tidak mempunyai mekanisme defragmenter, clean up, atau membuang file file yang tidak berguna lagi. Inilah penyebab sikap keras kepala seolah begitu sulit dirubah, meskipun individunya sendiri ingin berubah.

Sadar bahwa kita ingin lebih “open minded” namun tidak punya kontrol terhadap alam bawah sadar kita, maka upaya yang harus kita lipatgandakan bukan melawan orang lain atau bersikap defensif, namun justru melawan alam bawah sadar kita, alias diri sendiri juga. Pertama-tama, kita perlu memasukkan materi ke dalam diri sendiri, melalui keyakinan diri, niat dan ‘self talk’ bahwa kita adalah mahluk pembelajar, mahluk pendengar dan selalu ingin memasukkan hal-hal baru dalam pertimbangan diri kita. Ini yang harus dicemplungkan ke alam bawah sadar kita banyak-banyak, sehinggar reaksi-reaksi spontan kita pun terpengaruhi untuk bersikap terbuka.


Mencerna itu Keren

Kita tidak boleh membiarkan diri berkehendak untuk mempunyai kontrol situasi yang sempurna. Ketakutan si alam bawah sadar akan kehilangan kontrol, perlu dikalahkan oleh kekuatan kesadaran baru dengan keyakinan bahwa kontrol situasi memang tidak bisa kita pertahankan dalam dunia dan lingkungan yang sudah menganut keterbukaan begini. Keseimbangan justru bisa kita dapatkan dari pertimbangan-pertimbangan baru, semacam menimbang antara baru dan lama, faham kiri dan kanan, ortodoks dengan yang modern. Kita perlu meyakini bahwa ketrampilan mencerap perlu diasah. Kita perlu mendengar dengan kapasitas penuh. Mana mungkin kita bisa menerima informasi bila kita mendengar setengah hati, separuh jalan, atau sambil berpikir dan berkonsentrasi pada isi pembicaraan kita saja? Kita perlu sadar dan meyakini bahwa keinginan kita berbicara harus kita hentikan pada waktu kita menerima data yang disampaikan orang lain. Dengan demikian informasi yang masuk bisa diolah. Mari mencerap, kemudian mencerna.

0 comments

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.