Wednesday, June 13, 2012

Tuntutan Penerapan Syariat Islam Bukan Mengada-ada

JAKARTA  – Islam sebagai ajaran yang dikenalkan secara utuh menghasilkan perubahan total dalam kehidupan masyarakat, mulai dari perubahan ideologis, perubahan pola pikir, perubahan gaya hidup, hingga kepada penerapan syariat sebagai aspek hukum dalam Islam.

Menurut Ustadz Daud Rasyid, bicara penerapan syariat dalam perspektif sejarah, tidak satupun negeri yang Islam masuk di dalamnya tidak menerapkan syariat. Termasuk konteks sejarah nusantara, dimana yang menjadi hukum positif di kerajaan-kerajaan itu ialah hukum syariat. Leteratur yang dipakai dalam memutuskan hukuman di pengadilan adalah literature fiqih dengan madzhab Syafi’i. Fakta sejarah itu terdapat dalam karya monumental “Rihlah Ibnu Bathuthah”.
Penerapan hukum fiqih madzhab Syafi’i itu berlangsung cukup lama hingga datang pemerintah kolonial Belanda yang menghapuskan pemberlakuan syariat dan menggantinya dengan hukum Belanda, Hukum syariat hanya dibatasi untuk bidang-bidang : keluarga, seperti nikah, talak, rujuk dan sejenisnya.

“Jadi, perlu ditegaskan disini bahwa penerapan syariat di negeri ini mempunyai akar sejarah yang kuat, bahkan mendahului sejarah hukum Eropa itu sendiri. Oleh karena itu, tuntutan penerapan kembali syariat Islam bukan sesuatu yang mengada-ada atau tuntutan baru yang tidak ada landasannya. Akar sejarahnya sangat kokoh, bahkan seumur dengan bangsa ini,” ujar Ustad Daud.

Dalam sejarah perjuangan internasional, perjuangan penerapan syariat Islam sudah dimuiai sejak lahirnya Sarekat Islam. Secara resmi, hal ini pun tercantum dalam “Piagam Jakarta” yang berbunyi: “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.” Ini disetujui bersama oleh wakil-wakil Islam, nasionalis, dan Kristen.

Sebelum diproklamasikannya kemerdekaan RI, dibentuklah BPUPKI. Dalam sidang-sidang BPUPKI yang menentukan dasar negara, anggota-anggota BPUPKI terbelah menjadi dua: pihak Islam yang mengusulkan agar negara ini menjadi negara Islam, dan pihak nasionalis yang ingin pemisahan urusan kenegaraan dengan urusan keagamaan. Kedua usul ini sama kuat. Namun, akhirnya terjadilah kompromi antara kedua pihak yang menghasilkan isi “Piagam Jakarta”.

Dengan isi “Piagam Jakarta” itu, keinginan kedua belah pihak dapat terjembatani. Jadi, sebenarnya isi “Piagam Jakarta” itu sendiri adalah sikap mundur selangkah dari kelompok Islam di BPUPKI.

Apa yang terjadi kemudian, setelah Indonesia merdeka? Rumusan kompromis itu dihapus pada sidang PPKI, sehari sesudah proklamasi. Aktor intelektual dari upaya penghapusan ini adalah M. Hatta sendiri. Ia mengklaim didatangi salah seorang opsir angkatan laut Jepang yang mengaku sebagai utusan dari kelompok Kristen dari Indonesia Timur.

Katanya, mereka menolak rumusan “Piagam Jakarta” tadi. Anehnya, opsir Jepang yang dimaksud, Letnan Kolonel Shegetada Nishijima, yang menjumpai Hatta sore hari pada tanggal 17 Agustus 1945 itu, merasa tidak pernah menjadi “kurir” golongan Kristen Indonesia Timur.

“Yang pasti, permainan politik beberapa elit yang tidak menghendaki diberlakukannya syariat Islam, sesungguhnya bukanlah orang-orang di luar Islam, melainkan dari dalam umat Islam itu sendiri. Sangat menyedihkan,” ujar Daud Rasyid. 

Lihat yg lebih 'menarik' di sini !

0 comments

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.