Wednesday, August 1, 2012

Suka dan Duka bekerja di Tambang Batubara



Huuf, pada awalnya Aku sama sekali tidak membayangkan bisa bekerja di sebuah Perusahaan Batubara. Apalagi sampai bertugas di luar Pulau Jawa, yang sama sekali asing bagiku. Tapi akhirnya Aku dapat juga mengalami untuk bekerja di salah satu Perusahaan Batubara yang berkantor di Kota Bandung.

Awalnya Aku bekerja adalah sebagai seorang Checker yang bertugas untuk mengecek kiriman Barang dari Stockpile (gudang) ke Pabrik-pabrik yang lokasinya tersebar di Kota Bandung dan sekitarnya. Sungguh pekerjaan yang mengasyikkan bisa keluar masuk Pabrik dan melihat-lihat cara Produksi mereka. Meskipun harus rela untuk panas-panasan saat masuk ke Ruangan Boiler, karena terkadang aku harus mengecek langsung bagus tidaknya hasil batubara yang dikirim oleh perusahaan. Capek, Panas, Kotor dan harus siap mental dimarahi oleh petugas yang mengoperasikan Boiler tersebut jika hasil kiriman batubara kurang memuaskan. Belum lagi jika harus dikejar waktu untuk secepatnya singgah ke beberapa pabrik. Bukan apa-apa, tapi melewati jalanan di kota Bandung sungguh menguji kesabaran. Kota yang luasnya hanya sepertiga Jakarta itu dari siang sampai pagi selalu macet, mana jalanan kecil (yang terlebar hanya By Pass Soekarno-Hatta), angkot banyak yang ngetem dan memberhentikan penumpang seenaknya, sudah begitu ditambah lagi banyak jalur yang satu arah… Huuf, inilah Bandung, kota terbesar no 4 di Indonesia yang macetnya sama dengan Jakarta.


Batubara

Misalnya waktu itu Saya sedang mengecek di suatu Pabrik didaerah Cibaligo, Cimahi, terus ada panggilan dari Kantor untuk segera kembali ke Kantor yang berada didaerah Dago, setelah itu disuruh mengecek ke pabrik yang berada di Majalaya. Baru sampai pintu masuk pabrik sudah ditelepon lagi agar secepatnya mengambil surat jalan sopir yang tertinggal di depan Tol Baros dan mengantarkannya ke Pabrik di daerah Batujajar! Huuf… Dalam jangka waktu tidak lebih dari satu jam, mesti beres semua. Benar-benar seperti kilat, bayangkan saja dari Cibaligo ke Dago kemudian ke Majalaya terus lagi Tol Baros (Cimahi), setelah itu menuju Batujajar. Setelah saya lihat jaraknya di km sepeda motor saya menunjukkan 74km! Jarak segitu harus ditempuh kurang lebih satu jam dengan gaya selap selip dan merayap di Kota Bandung…

Tapi, itu hanya salah satu pengalaman, dan masih banyak lagi pengalaman “indah” lainnya. Biasanya kalau hari sabtu, kantor kami tutup setengah hari dan karyawannya dapat pulang pukul 13 wib. Dan sebelum pulang, kami selalu ditraktir oleh Bos untuk pergi makan, entah itu ke Restoran, Mall atau Rumah makan biasa. Tapi bagi kami, sesama karyawan itu adalah suatu penghargaan yang sangat besar sekali. Betapa tidak girang jika seluruh karyawan diajak makan-makan oleh Bosnya sendiri. Itulah pengalaman yang bagi saya pribadi sangat mengharukan, karena menunjukkan Bos sebagai Pemimpin perusahaan mau berbaur dengan karyawannya tanpa harus dibatasi oleh peraturan. Karena kalau kami sedang berada di meja makan, dengan santainya dapat bercerita, bercanda dengan Bos tanpa harus takut-takut. Beda lagi jika sudah menghadapi hari Senin, semua kembali normal dan karyawan tidak bisa tertawa sesuka hatinya.

Terkadang juga saya harus pergi ke Cirebon untuk bertugas mencatat data, saat ada kapal tongkang yang bersandar. Biasanya saya bergadang di Pelabuhan Cirebon selama 3 hari saat Kapal Tongkang menurunkan muatan Batubara menuju Stockpile yang berada di daerah Palimanan. Saya juga sering bolak-balik antara Pelabuhan dengan Stockpile untuk memastikan jalannya Truk yang memuat batubara tersebut. Karena kalau tidak diawasi bisa-bisa terjadi “main mata” antara sopir dengan orang-orang dijalan. Sebab harga satu ton batubara lumayan mahal apalagi dalam satu truk bisa memuat sekitar 25 ton lebih. Biasanya kegiatan dipelabuhan dimulai saat pukul 08 pagi hingga pukul 05 subuh berikutnya. Dan kalau sudah begitu harus pintar-pintar menjaga kondisi tubuh agar selalu fit. Ditambah lagi dengan angin malam yang sangat dingin dan kalau siang udara panas Kota Cirebon sungguh menyengat. Belum lagi debu batubara yang berterbangan membikin kotoran menempel diwajah dan sekujur tubuh. Untuk mengisi waktu luang biasanya kami (2-3 orang) mengisi waktu dengan memancing dilaut dan juga berfoto ria.

Setelah beberapa bulan bekerja, tepatnya saat bulan Juli, saya dipindahkan ke Kalimantan Selatan. Tepatnya didaerah Asam-asam yang berjarak sekitar 200 km dari Banjarmasin…

Suka dan Duka Selama Bekerja di Tambang Batubara II (Batubara = BArang TUhan BAgi RAta???)

Akhirnya saya tiba di Bandara Syamsudin Noor dengan selamat. Setelah melintasi Lautan Jawa yang luas, huuf sampai juga ke Bumi Borneo ini. Kemudian saya bersama Ara (Teman satu perusahaan) dijemput oleh Wanto (Perwakilan dari perusahaan yang Join dengan perusahaan Bos kami). Kami jalan jalan sejenak untuk merasakan kota Banjarmasin diwaktu malam hari, tidak lupa mencicipi rasa Soto Banjar yang terkenal lezat itu. Sambil sesekali cuci mata melirik gadis-gadis Melayu disebuah jembatan panjang dekat Masjid raya. Setelah puas keliling, kami memutuskan untuk beristirahat di Hotel Banjarmasin Indah, salah satu hotel paling mewah di kota seribu sungai (bintang 3*).

Esoknya pada pukul 11, kami berangkat menuju kota Asam-asam yang berada di kecamatan Jorong, Kabupaten Tanah Laut. Kami bertiga mengendarai sebuah mobil Taft keluaran tahun 1994. Saya hanya geleng-geleng kepala saat Wanto mengemudikannya dengan kecepatan hampir 100 km/jam. Saat melihat-lihat pemandangan melalui jendela, saya merasa aneh sebab sepanjang jalan tidak ditemui pegunungan yang tinggi alias datar saja, beda saat melewati Jakarta - Bandung via Puncak atau Tol Cipularang yang dikelilingi banyak bukit dan gunung. Saat melewati Kota Plaihari hujan sangat deras ditambah dengan jalanan yang berlumpur, sampai beberapa kali mobil kami hampir terperosok masuk parit! Untung Wanto sang pengemudi sangat lihai, mirip Juan Pablo Montoya di F1. Dan lagi terbantu oleh Double Gardan, entahlah jika kami hanya memakai mobil kijang atau lainnya, bisa-bisa malah terperosok beneran.


Rumah yang dijadikan Mes di Kota Asam-asam

Kami sampai di Mes pada pukul 16 sore, langsung disambut oleh Karyawan dari perusahaan Wanto bekerja. Disana kami berkenalan dengan Habib Wai (Habib = orang yang dituakan/ orang yang sangat dipandang), terus langsung disuruh makan sama Acil (Bibi bahasa sana). Kaget juga saat melihat sekeliling rumah besar yang dijadikan mes ini. Sebelah kanan rumah hutan, sebelah kiri hutan, belakang juga hutan bersebelahan dengan sebuah sumur tua yang entah sejak kapan tidak terpakai, yang kata teman-teman sangat angker… (Suka dan duka selama bekerja di Tambang Batubara V : Suara-suara dari Sumur Tua*).

Ditambah lagi dengan halaman rumah yang luas serta berjarak sekitar 100 meter kearah jalan raya, untungnya jalan raya itu selalu ramai dilewati kendaraan karena termasuk jalan Provinsi yang menghubungkan Banjarmasin dan Balikpapan.

Esok paginya kami langsung berangkat ke pelabuhan, jaraknya dari mes sekitar 15 km, dan kalau melalui mobil sekitar 15 menit, tapi jika memakai sepeda motor bisa satu jam lebih. Karena jalan yang dilewati adalah jalur truk pengangkut batubara yang hilir mudik setiap saat tanpa henti. Di pelabuhan saya langsung menuju ke stokpile tempat batubara kami ditumpuk serta langsung melihat-lihat kondisi di sekeliling dermaga. Oh ya, di Asam-asam terdapat beberapa Pelabuhan Batubara seperti Cenko, DTBS, KSO dan serta pelabuhan lainnya. Dahulu menurut cerita Kawan saya, pelabuhan-pelabuhan itu aadalah bekas pelabuhan kayu. Berhubung sekarang sudah sepi, maka banyak yang dialihfungsikan menjadi pelabuhan batubara.


Berfoto didalam tongkang

Di dalam pelabuhan biasanya saya mencatat truk yang masuk di timbangan serta mengawasi persediaan batubara di stockpile yang kami sewa. Karena kalau tidak ada yang mengawasi disana rawan akan pencurian, seperti seorang teman baru yang ditugasi oleh perusahaannya bercerita bahwa sore tadi ia melihat tumpukan batubaranya sudah menggunung, tapi entah bagaimana. Selepas Isya tiba-tiba gundukan batubaranya menjadi sedikit dan terlihat bekas jejak kedukan alat berat (Loader*). Mungkin karena ditinggal sebentar olehnya, ada seseorang yang mengambil batubara tersebut. Entah Operator Nakal atau Pengumpul batubara ilegal yang kemudian dijual kembali dengan harga tinggi.

Tapi itulah Batubara, yang banyak orang mengatakan sebagai “Barang Tuhan Bagi Rata”…
Saya juga mendengar bahwa banyak Pengusaha baru yang tertipu saat membeli batubara dalam pelabuhan. Ceritanya begini, jika ada beberapa orang yang melihat tumpukan batubara di pelabuhan, saya contohkan sebagai si C, kemudian tertarik karena kalori tinggi serta sulfur yang rendah (saat dites ke lab). Terus ia ingin membelinya dengan orang yang mengawasi batubara tersebut, si B. Nah saat itu, ia tak sadar kalau orang yang mengawasinya ternyata bukan asli perwakilan dari perusahaan tersebut. Hanya orang yang suka menipu dan memanfaatkan kelengahan dan ketidak tahuan calon pembeli. Kemudian saat transaksi semua sudah selesai dan si C yang membeli batubara itu ingin mengangkutnya kedalam tongkang, tiba-tiba ada yang mencegahnya. Dan yang mencegahnya tak lain adalah orang yang benar-benar mempunyai tumpukan batubara tersebut (si A) sedangkan orang yang mengaku sebagai pemilik batubara sebelumnya adalah fiktif belaka (si C). Karena diantara Sang pembeli dan Pemilik batubara yang sebenarnya tidak ada yang mau mengalah, maka polemik ini diselesaikan dengan surat asli dari pelabuhan, bahwa pemilik asli batubara ini adalah si A dan bukan si C yang bertransaksi dengan Bos tersebut. Hingga akhirnya lemas lunglai perasaan Pengusaha (si B) tersebut. Karena sudah banyak keluar uang yang tidak sedikit untuk membeli batubara itu. Seperti yang saya tahu, batubara per ton sekitar rp 300 ribu, kemudiana biaya surveyor, biaya angkut dari pelabuhan, belum lagi biaya sewa tongkang yang mencapai rp 400rb untuk sekali angkut ke Pulau Jawa (tahun 2007*). Ya itulah sisi lain dari bisnis batubara, banyak yang sukses tetapi lebih banyak lagi yang gagal.

Sepertia ada ujar-ujar, bahwa seorang Pengusaha dari Jawa yang ingin belajar Ulun dan Pian (bahasa sananya aku, kamu*) Itu tidak gampang dan harus mengeluarkan uang ratusan juta rupiah. Itu hanya kata kiasan disana, tetapi memang benar, kalau tidak bisa pandai-pandai beradaptasi bisa-bisa tertipu seperti yang saya ceritakan diatas.

Written By Baginda Ery on Selasa, 31 Juli 2012 | 23:23

Sudah empat hari ini saya melupakan kisah pengalaman sewaktu bekerja di Tambang Batubara dahulu. Gara-gara sibuk merenovasi Blog pribadi yang sudah setahun tidak dijamah. Untungnya masih lekat sisa-sisa kenangan yang berada di otak kepala saya yang kecil ini. Begitu juga dengan foto-foto, sampai saat ini masih tersimpan dengan rapi. Sebab sebuah kenangan, bagi saya sangat penting. Sebagai bekal untuk bercerita nanti kepada Anak dan Cucu.

* * *

Memasuki bulan Ramadhan, adalah saat-saat yang mendebarkan bagi saya. Karena tidak seperti tahun lalu saat buka, dan sahur kumpul bareng keluarga. Puasa tahun ini harus siap untuk jauh dari keluarga, dan pulangnya minimal seminggu sebelum Lebaran. Tidak enak sih, tapi namanya juga bekerja harus siap menerima dengan lapang dada.

Awalnya sih berat, karena saya setiap hari harus berada dipelabuhan yang panas dan banyak debu beterbangan. Sampai-sampai saya ingin buka puasa pada waktu jam masih pukul 13 siang! Untung saja saya diingatkan oleh teman, kalau tidak… mungkin saya sudah berlari menuju timbangan yang ada kantin. Tapi saat buka puasa, terasa nikmat sekali. Bahkan saya merasa ini adalah anugerah, bisa bertahan dari imsak hingga maghrib dengan kuat menghadapi godaan. Saat buka, kami langsung menuju ke pasar yang berada di simpang empat kota asam-asam. Disana langsung saja saya menghabiskan 3 gelas es kelapa dengan ditambah sepiring nasi padang pakai lauk ayam bakar! Teman saya jadi kaget, sampai-sampai dia bilang ke saya, “kamu, puasa atau dendam???“

Saya hanya tersenyum sambil mengangguk kecil tanda entah setuju atau entah saya lagi tanggung dengan kegiatan yang sangat mengasyikkan ini. Setelah kenyang, kami istirahat sejenak untuk segera melanjutkan Sholat Taraweh di Masjid. Untungnya Sholat Taraweh disana sangat singkat, 11 Rakaat dengan bacaan yang pendek. Setelah selesai kami pulang, dan semalaman kami tidak ada yang tidur, semua pada bergadang. Entah main domino, main internet, atau seperti saya nelpon Orang tua, karena terus terang saya kangen juga akan suasana Puasa di Kampung halaman…


Saat sebelum pengukuran muatan Tongkang (Final Draft)

Nah saat sahur ini yang menarik, karena saya yang paling kecil di mes. Maka saya disuruh oleh Habib untuk pergi beli makanan jam 02 dini hari bersama seorang teman. Mending kalau naik mobil tapi ini hanya naik sepeda motor! (Kebetulan Mobil Taft Rocky yang biasa kami pakai sedang rusak, Hidrolik pecah dan gardannya sedang bermasalah, terus diservis di bengkel sejak seminggu yang lalu). Ga bisa dibayangkan, naik sepeda berdua saat tengah malam buta didaerah yang sama sekali asing bagiku. Untung saya ditemani oleh Wanto, seorang Melayu keturunan Jawa dari kedua Orang tuanya. Uuups benar-benar dingin udara di malam ini dan juga lumayan gelap. Untung bulan puasa, kalau hari biasa saya bisa merinding keluyuran tengah malam begini…

Selama disana saya hanya sanggup puasa sekitar 11 hari, sisanya tidak kuat dan memang tidak niat (entah karena tidak sahur atau pekerjaan yang berat). Kemudian pada tanggal akhir September datang kapal untuk melakukan Loading, memuat 8000 ton batubara untuk diangkut ke Cirebon. Setelah selesai memuat, saya langsung ikut di Tug Boat. Karena sudah tidak kebagian tiket pesawat dan juga Lebaran sudah tinggal beberapa hari lagi. Mau tidak mau, saya harus pulang dengan tongkang itu, daripada Lebaran tidak berkumpul dengan keluarga.

Hari selasa setelah selesai memuat batubara dan dilakukan pengukuran oleh surveyor (Final Draft), tug boat berangkat dari Pelabuhan, perkiraan sekitar satu minggu saya akan mengarungi samudera lepas. Benar-benar membayangkan pun tidak pernah, apalagi mimpi seperti ini. Tapi inilah kenyataan yang harus saya hadapi, pergi dengan Pesawat dan pulang menumpang kapal Tongkang…

Hari pertama disamudera lepas sungguh tidak mengenakkan, saya benar-benar mengalami apa yang dinamakan mabok laut. Ombak yang besar sering menghantam kapal yang kecil tapi bisa menarik muatan 12.000 ton. Belum lagi kalau hujan, semua terasa ngeri untuk dibayangkan. Saya hanya bisa tiduran dibawah dek kapal sambil berdoa semoga tidak terjadi apa-apa. Anehnya Kapten, Chief dan Awak kapal lainnya tidak merasa apa-apa, mungkin karena sudah biasa jadi mereka santai menghadapi masalah seperti ini. Beda dengan saya yang baru kali ini menyeberang laut luas dengan kapal yang kecil. Sebenarnya saya sering juga naik kapal atau feri, tapi semuanya kapal besar dan jarak tempuhnya tidak begitu lama paling hanya 2-3 jam. Seperti yang sering saya alami saat menyeberang dari Merak menuju Bakauheni, dari Gilimanuk ke Surabaya, atau dahulu dari Batam ke Dumai.

Saya sampai tidak bisa makan selama beberapa hari, sebab setelah menelan nasi badan saya menjadi mual akibat kapal yang bergoyang terus. Padahal masakan didalam kapal sungguh lezat, koki pandai sekali membuat masakan yang membuat semua awak kapal makan dengan nambah, kecuali saya.

Kegiatan selama di Tugboat tidak ada, hanya menghitung hari supaya cepat sampai ke rumah dengan selamat. Sesekali saya foto-foto pemandangan di laut, dan yang menarik saat banyak ikan lumba-lumba yang berlompatan ketika kami melewati pulau Karimun Jawa di sebelah utara Semarang. Sungguh keren dan sangat indah pemandangannya, tidak menyesal juga saya harus mengikuti kapal ini.

Bergaya sebagai Juru Mudi…
Kalau malam hari saya paling hanya melihat tv dan menonton beberapa awak kapal yang main kartu domino untuk membunuh waktu. Sambil sesekali saya mencicipi minuman beralkohol. Yuupz, mendengar kata Alkohol saya jadi mengingatnya, karena dari 2 lemari es yang ada di kapal, satu untuk menaruh daging dan sayuran, dan satunya lagi khusus untuk menaruh minuman berbagai jenis, hingga penuh! Benar-benar hobi minum orang yang ada disini, pikirku saat pertama kali membuka lemari es yang berisi minuman beralkohol semua, semuanya tersedia dari yang berharga murah hingga perbotol sekitar jutaan rupiah, dan dari yang kadar alkoholnya 0,5% sampai yang murni 100% alkohol…

Tapi itulah manusia, meskipun sudah terbiasa dilaut dan sering menghadapi badai, namun disaat tertentu mereka juga merasakan apa yang disebut dengan mabuk laut. Dan kalau begitu, mereka langsung meminum minuman alkohol untuk menghilangkan rasa mual.

Saat pertama kali melihat Gunung Ciremai dari kejauhan, perasaan saya sungguh girang tak terhingga. Berarti sudah hampir sampai pelabuhan Cirebon, dan tidak lama lagi saya bisa berkumpul dengan keluarga…

* * *


Lihat yg lebih 'menarik' di sini !

0 comments

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.