Pantai Indrayanti
Jogja masih tidur. Pagi yang dingin memaksa saya untuk tetap berada dalam pelukan selimut tebal. Sayup-sayup terdengar pintu kamar di ketok oleh seseorang. Dengan masih tetap di dera kantuk, perlahan pintu mulai kubuka. Rupanya suara ketukan itu berasal dari seorang petugas hotel yg mengantarkan sarapan pagi buat saya. Mau gak mau saya harus terbangun gara-gara insiden sarapan ini. Hanya setangkup roti bakar. Kebetulan juga saya tidak terlalu suka dengan roti.
Tidak selang berapa lama saya sudah berada di jalan malioboro. Menyusuri setiap sudut artistiknya bangunan-bangunan kuno yang ada disana. Para pedagang mulai sibuk menggelar lapaknya.
Sepincuk nasi pecel cukup untuk mengganjal perut. Penjualnya juga terlihat masih sibuk membereskan barang dagangannya. Sesaat kemudian nasi pecel itu sudah mendarat manis di dalam perut saya.
Sepincuk nasi pecel cukup untuk mengganjal perut. Penjualnya juga terlihat masih sibuk membereskan barang dagangannya. Sesaat kemudian nasi pecel itu sudah mendarat manis di dalam perut saya.
"Mas mau kemana jadinya hari ini?" Pesan dari Agus, sahabat baru saya yang baru kenal tadi malam. Dia senang juga dengan fotografi. Lumayan lah buat teman hunting selama di jogja. Padahal niatan semula adalah ingin menikmati saja waktu istirahat di Jogja.
"Pengen ke Indrayanti seh sebenarnya, tapi kesiangan gak ya?" Pesan singkat balasan yg saya kirimkan.
"Ya udah kutemenin yok" jawaban yang kutunggu-tunggu.
Sembari menunggu Agus datang, kok saya tergelitik untuk mencoba menikmati suasana Jogja dari atas sebuah dokar. Duduk di samping pak kusir yang sedang bekerja sambil menikmati keunikan kota yang tetap melestarikan budayanya ini memang terasa begitu sempurna. Para pedagang cinderamata di sepanjang Malioboro sibuk melayani pelanggannya. Beberapa pasangan muda-mudi juga terlihat bergandengan erat seolah ingin mengukir sebuah memory indah di kota gudeg ini.
"Saking pundi mas" sang bapak kusir membuka sebuah obrolan.
"Asli Pati pak, mung sakniki nguli teng Jakarta" saya berusaha menjawab pertanyaan si bapak tetap dengan bahasa jawa halus.
Obrolan demi obrolan mengalir begitu saja. Pak Parno berceloteh ria tentang segala hal, mulai dari terkenalnya jalan pasar kembang hingga sebuah harapan besar yang di inginkan oleh kalangan bawah masyarakat Jogja tentang negeri ini.
Tak terasa saya sudah sampai di tempat semula ketika perjalan ini tadi dimulai, itu artinya saya sudah sampai di pemberhentian terakhir. Setelah mengucapkan terima kasih dan membayar biaya sewa andong, saya berpamitan kepada pak parno dan bergegas kembali ke hotel.
Tidak lama setelah saya masuk ke hotel, Agus datang. Kami segera memulai perjalanan supaya masih bisa menikmati sunset di pantai Indrayanti.
"Mas jadi mau mampir ke Raminten?"
Agus membuka obrolan.
"Males ngantrinya gus" kujawab sekenanya.
"Tenang mas kalau ama saya langsung dapat tempat" agus menjawab sambil membanggakan dirinya yang termasuk orang dalam keraton Jogja.
Tak selang berapa lama saya sudah berada di sebuah tempat makan yang menjadi idola para muda-mudi Jogja ini. Raminten namanya, masih satu group dengaan bathik Mirota kayaknya. Agus membuktikan ucapannya, dan kami pun cepat sekali mendapatkan meja untuk makan. Beda dengan kemarin malam yang mencoba kesana sendirian, namun harus pulang lagi karena ngantrinya lama sekali, keburu perut sudah melilit kelaparan.
"Pengen ke Indrayanti seh sebenarnya, tapi kesiangan gak ya?" Pesan singkat balasan yg saya kirimkan.
"Ya udah kutemenin yok" jawaban yang kutunggu-tunggu.
Sembari menunggu Agus datang, kok saya tergelitik untuk mencoba menikmati suasana Jogja dari atas sebuah dokar. Duduk di samping pak kusir yang sedang bekerja sambil menikmati keunikan kota yang tetap melestarikan budayanya ini memang terasa begitu sempurna. Para pedagang cinderamata di sepanjang Malioboro sibuk melayani pelanggannya. Beberapa pasangan muda-mudi juga terlihat bergandengan erat seolah ingin mengukir sebuah memory indah di kota gudeg ini.
"Saking pundi mas" sang bapak kusir membuka sebuah obrolan.
"Asli Pati pak, mung sakniki nguli teng Jakarta" saya berusaha menjawab pertanyaan si bapak tetap dengan bahasa jawa halus.
Obrolan demi obrolan mengalir begitu saja. Pak Parno berceloteh ria tentang segala hal, mulai dari terkenalnya jalan pasar kembang hingga sebuah harapan besar yang di inginkan oleh kalangan bawah masyarakat Jogja tentang negeri ini.
Tak terasa saya sudah sampai di tempat semula ketika perjalan ini tadi dimulai, itu artinya saya sudah sampai di pemberhentian terakhir. Setelah mengucapkan terima kasih dan membayar biaya sewa andong, saya berpamitan kepada pak parno dan bergegas kembali ke hotel.
Tidak lama setelah saya masuk ke hotel, Agus datang. Kami segera memulai perjalanan supaya masih bisa menikmati sunset di pantai Indrayanti.
"Mas jadi mau mampir ke Raminten?"
Agus membuka obrolan.
"Males ngantrinya gus" kujawab sekenanya.
"Tenang mas kalau ama saya langsung dapat tempat" agus menjawab sambil membanggakan dirinya yang termasuk orang dalam keraton Jogja.
Tak selang berapa lama saya sudah berada di sebuah tempat makan yang menjadi idola para muda-mudi Jogja ini. Raminten namanya, masih satu group dengaan bathik Mirota kayaknya. Agus membuktikan ucapannya, dan kami pun cepat sekali mendapatkan meja untuk makan. Beda dengan kemarin malam yang mencoba kesana sendirian, namun harus pulang lagi karena ngantrinya lama sekali, keburu perut sudah melilit kelaparan.
Dawet gula merah JUMBO di Raminten
Perjalanan berlanjut menuju pantai Indrayanti di wilayah Gunung Kidul. Tidak terlalu jauh sebenarnya. Hanya saja cukup membuat pantat terasa pegal juga ha ha. Tanjakan dan tikungan menghiasi perjalanan kali ini. Di beberapa tempat juga masih terlihat adanya pembangunan jalan.
Ketika memasuki daerah Wonosari saya tergelitik dengan banyaknya penjual belalang di pinggir-pinggir jalan. Namun yang mereka jual adalah belalang yang masih belum diolah. Tapi untunglah saya menemukan penjual olahan belalang yang sudah di goreng dan siap disantap. Ternyata Gurih belalang goreng khas Wonosari ini. Tidak ada salahnya untuk mencobanya jika mengunjungi daerah ini.
Walang Goreng khas Wonosari
Tepat pukul 16:00 saya sampai di pantai Indrayanti. Sebenarnya asik pantainya, namun saya datang di waktu yang salah. Masih musim liburan sekolah sehingga pantai terlihat begitu ramai sekali sore itu.
Pasir putih menghampar, ombak dilaut terlihat berkejar-kejaran, tebing tebing karang seolah terlihat begitu angkuh, langit bitu juga seolah melengkapi keindahan kali ini. Beberapa pondokan juga terlihat di pinggir pantai.
Perjalanan menuju Pantai Indrayanti
Seorang pelayan datang menghampiri sambil menyodorkan sederet menu hasil laut. Setelah memesan beberapa menu dan bongkahan kelapa muda, mata saya mulai beredar. Berusaha mencari sudut-sudut keindahan pantai yang dulunya sepi ini.
Matahari terlihat semakin condong kebarat. Itu artinya sunset akan segera tiba. Berjalan menyusuri lorong-lorong kecil yang terbentuk dari celah-celah batu karang ternyata memberikan sensasi tersendiri. Begitu keluar dari celah-celah karang tersebut keindahan baru muncul. Hamparan pantai yang di sinari oleh matahari senja sungguh menawan hati. Sementara di lautan gulungan-gulungan ombak semakin membuat saya betah berlama-lama di pantai ini sembari menunggu matahari tenggelam.
Sup kepala ikan lezatosss
Perlahan sang surya mulai beranjak menuju peraduannya. Siluet-siluet yang di timbulkannya terlihat begitu sempurna. Gemuruh ombak masih saja terdengar, namun hari sudah beranjak gelap dan saya masih harus menembus gelapnya daerah ini dengan menunggang motor.
Sunset nya Romantis
Tepat pukul 19:00 saya mengucapkan selamat tinggal ke pantai Indrayanti. Suatu saat saya akan kembali kesini di musim yang berbeda. Ingin sekali merasakan menginap di salah satu cottage yang sengaja di dirikan untuk melayani tamu-tamu yang ingin bermalam disana.
Perut mulai keroncongan. Tepat di perempatan lampu merah wonosari saya menemukan sebuah warung bakmi Gogod khas wonosari. Gak ada salahnya mencoba menu ini. Motor pun berbelok menuju halaman warung kecil ini.
Masak bakmi Jawa
Ini Hasilnyaaaa, Lezat kan?
Hangatnya teh poci gula jawa ini serasan menjalar ke seluruh tubuh. Menghangatkan bagian-bagian tubuh saya yang mulai menggigil kedinginan. Tak selang berapa lama sepiring bakmi jawa juga datang. Dan tak butuh waktu lama untuk menghabiskannya.
Setelah kenyang perjalanan pun dilanjutkan. Gelap dan dinginnya hutan jati dan kayu putih di daerah Wonosari harus saya tembus. Bukit bintang juga masih seperti dulu, masih menjadi tempat terasik bagi pasangan muda mudi untuk mengikat janji. Lampu-lampu kota Jogja terlihat begitu indah dari atas bukit bintang ini. Jogja masih ramai ketika saya sampai di hotel. Sungguh perjalanan luar biasa bisa menikmati keindahan pantai Indrayanti. I love you Indrayanti.
Cuma Pajangan
Nikmatnya bersama keluarga
Menara Pengawas
Dah kayak di Bali ya
Bersantai
Saat surut
Amazing Sunset nya Indrayanti
Mejeng Sebelum Pulang
Lihat yg lebih 'menarik' di sini !
0 comments
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.