Hari mulai gelap ketika saya dan tiga orang teman tiba di terminal bis Melaka Sentral. Bergegas kami menuju pangkalan taksi di satu sudut, mencari taksi untuk mengantar kami menuju penginapan kami di Jl. Bunga Raya. Taksi di Melaka umumnya serupa, jarang menggunakan argo resmi. Karenanya, kita harus pintar-pintar menawar dan tahu estimasi jarak sehingga tidak tertipu. Berdasarkan informasi yang saya baca di internet, tarif normal dari Melaka Sentral menuju pusat kota berkisar antara RM10-12 (Rp30.000 – Rp36.000). Namun, karena hari sudah malam, kami pun akhirnya menyepakati tarif sebesar RM15, sedikit lebih mahal dari tarif normalnya. Perjalanan menuju pusat kota hanya memakan waktu sekitar 20 menit.
Setelah meletakkan tas dan membersihkan diri sedikit di penginapan, saya dan ketiga teman bersiap untuk mengunjungi Jonker Street Night Market yang terkenal, yang kabarnya hanya diadakan saat akhir pekan. Jonker Street sendiri dapat ditempuh dengan berjalan kaki selama lima menit saja dari penginapan kami di Jalan Bunga Raya.
Sebelumnya, saya banyak membaca bahwa lokasi-lokasi wisata di Melaka itu dapat dicapai dengan berjalan kaki. Awalnya saya ragu dan tidak bisa membayangkan, apa benar sekecil itu? Namun, dalam perjalanan menuju Jonker Street yang berjarak lima menit saja, saya sudah menemukan Gereja Xavier yang cantik dan Christ Church yang menjadi ciri khas kota ini.
Keramaian di Jonker Street sudah nampak dari kejauhan, sedikit kontras dengan kondisi kotanya yang sepi menurut penglihatan saya. Sepanjang jalan penuh dengan kios yang menjual berbagai macam barang, mulai dari makanan kecil, sandal, pakaian, kerajinan tangan, hingga produk kecantikan. Di mana-mana nampak pengunjung berbelanja atau sekedar melihat-lihat, baik turis maupun orang lokal. Hiasan khas Cina digantung sepanjang jalan, meskipun pada waktu kami berkunjung bulan Februari tahun 2012, Imlek sudah berlangsung beberapa minggu sebelumnya.
Suasana Jonker Street ketika malam
Satu hal yang sangat saya sukai dari pasar malam, termasuk di Jonker Street, adalah banyaknya jajanan khas yang jarang ditemui di tempat lainnya. Khusus di sini, jajanan favorit saya adalah sate buah-buahan yang disiram dengan karamel buatan rumahan yang masih hangat, kemudian dikeraskan. Meskipun harganya agak mahal sekitar RM3 per tusuk, saya rela membeli jajanan yang disebut oleh penjualnya sebagai “fruit candy” ini. Makanan lain yang kami cicipi adalah “tornado potato“: irisan keripik kentang buatan rumahan yang ditusukkan ke tusuk sate ukuran raksasa. Tidak seperti keripik kentang pada umumnya, tornado potato ini teksturnya tidak terlalu renyah dan agak alot. Terakhir, kami juga mampir ke penjual gorengan yang selalu menjadi favorit saya dan teman-teman ketika berkunjung ke Singapura dan Malaysia. Gorengan memang tak pernah salah!
Jajanan pinggir jalan
Bergerak ke salah satu sudut Jonker Street, kami berbelok dan melihat banyak orang mengunjungi suatu lokasi yang kelihatan seperti sebuah taman. Kami pun mendekat, ingin tahu ada apa di taman tersebut. Rupanya, ada sejumlah patung yang banyak dijadikan obyek foto, antara lain patung gajah dan naga yang keduanya seukuran manusia. Selain itu, ada satu patung yang menarik perhatian saya, yakni patung setengah badan seorang pria berotot yang perawakannya persis binaraga seperti Ade Rai! Menurut keterangan yang tertulis, dikatakan bahwa patung tersebut dibuat untuk menghormati Datuk Wira Dr. Gan Boon Leong, yang memiliki predikat sebagai bapak binaragawan di Malaysia. Tanpa buang waktu, kami pun segera mengabadikan foto dengan objek unik tersebut!
Berada di ujung Jonker Street, terdapat sebuah panggung yang cukup besar, dengan seorang perempuan muda menyanyikan lagu berbahasa Mandarin. Deretan kursi plastik yang dijajarkan di depan panggung pun terisi penuh, umumnya oleh kakek dan nenek keturunan Tionghoa yang mengikuti pertunjukan dengan penuh perhatian. Sambil makan es potong rasa buah-buahan yang dijual seharga RM1, saya dan teman-teman pun menonton acara tersebut selama beberapa menit, sebelum akhirnya memutuskan untuk kembali ke penginapan.
Keesokan paginya, kami kembali bergegas menuju Jonker Street untuk mencari makanan khas Melaka, yaitu “Chicken Rice Ball“. Berbekal prinsip “yang ramai pasti enak”, kami pun bergabung dalam antrian di satu rumah makan yang menjual makanan ini. Kami sedikit kebingungan ketika akan memesan, karena rupanya rumah makan tersebut tidak menyediakan menu dan pemilik serta pelayannya hanya bisa berbahasa Mandarin, dengan sedikit Bahasa Inggris yang terbata-bata. Setelah menunjuk-nunjuk meja sebelah, kami pun memesan Hainam Chicken Rice Ball porsi dua orang untuk dimakan berempat. Total biayanya RM12 saja!
Berada di ujung Jonker Street, terdapat sebuah panggung yang cukup besar, dengan seorang perempuan muda menyanyikan lagu berbahasa Mandarin. Deretan kursi plastik yang dijajarkan di depan panggung pun terisi penuh, umumnya oleh kakek dan nenek keturunan Tionghoa yang mengikuti pertunjukan dengan penuh perhatian. Sambil makan es potong rasa buah-buahan yang dijual seharga RM1, saya dan teman-teman pun menonton acara tersebut selama beberapa menit, sebelum akhirnya memutuskan untuk kembali ke penginapan.
Keesokan paginya, kami kembali bergegas menuju Jonker Street untuk mencari makanan khas Melaka, yaitu “Chicken Rice Ball“. Berbekal prinsip “yang ramai pasti enak”, kami pun bergabung dalam antrian di satu rumah makan yang menjual makanan ini. Kami sedikit kebingungan ketika akan memesan, karena rupanya rumah makan tersebut tidak menyediakan menu dan pemilik serta pelayannya hanya bisa berbahasa Mandarin, dengan sedikit Bahasa Inggris yang terbata-bata. Setelah menunjuk-nunjuk meja sebelah, kami pun memesan Hainam Chicken Rice Ball porsi dua orang untuk dimakan berempat. Total biayanya RM12 saja!
“Chicken Rice Ball” ala Melaka
Setelah mengisi perut, kami berjalan-jalan di sekitar Jonker Street. Meskipun malamnya baru saja digunakan sebagai lokasi pasar malam, jalan-jalan di Jonker Street terlihat bersih dan rapi. Ada banyak sekali gerai-gerai menarik di sepanjang Jonker Street maupun jalan-jalan tembusannya, hingga rasanya harus sehari penuh menghabiskan waktu di sini. Selain toko-toko lucu, ada banyak sekali tempat-tempat kultural yang dapat dikunjungi di Jonker Street ini, misalnya Mesjid Kampung Keling (tidak terlalu spesial, tapi lumayan untuk dikunjungi karena jaraknya dekat), Baba Nyonya Heritage Museum (tiket masuk sekitar RM10), Sri Poyyatha Vinayagar Moorthi Temple, Cheng Hoon Teng, dan Sam Po Kong Temple. Yang terakhir ini sayang untuk dilewatkan, karena suasananya tenang dan nyaman sekali. Ketika kami datang, banyak orang tengah bersembahyang.
Dari Jonker Street, kami menyeberangi Sungai Melaka untuk menuju ke Christchurch yang terkenal. Kami mampir ke St. Xavier Church. Gereja cantik ini berdiri di atas tanah yang konturnya tidak rata, sehingga pada awalnya saya dan teman-teman sempat berdebat bahwa gereja tersebut memiliki kemiringan yang tidak wajar, mirip tapi tak seekstrim Menara Pisa di Italia.
Setelah puas melihat-lihat gereja tersebut, kami melewati museum-museum berbayar atas alasan berhemat, dan memilih untuk mendaki St. Paul Hill. Pendakian tersebut cukup melelahkan bagi kami, mengingat kami baru saja mengelilingi Jonker Street sepanjang pagi. Namun, begitu sampai di atas, kami tidak menyesal sedikit pun. Di atas bukit tersebut, ada reruntuhan Gereja St. Paul yang cantik, lengkap dengan pemandangan ke arah kota Melaka. Kami pun duduk-duduk di salah satu reruntuhan jendela, mengistirahatkan kaki sekaligus menikmati sejuknya angin.
Kami sempatkan juga mampir ke bekas reruntuhan A Famosa yang juga terkenal sebagai ikon Melaka. Karena hari sudah mulai sore, kamipun lalu mengambil tas kami di hostel, kemudian kembali ke Christchurch untuk menunggu bis umum yang akan membawa kami kembali ke Melaka Sentral Bus Station dengan tarif RM1 per orang.
24 jam di Melaka yang menyenangkan buat kami!
Dari Jonker Street, kami menyeberangi Sungai Melaka untuk menuju ke Christchurch yang terkenal. Kami mampir ke St. Xavier Church. Gereja cantik ini berdiri di atas tanah yang konturnya tidak rata, sehingga pada awalnya saya dan teman-teman sempat berdebat bahwa gereja tersebut memiliki kemiringan yang tidak wajar, mirip tapi tak seekstrim Menara Pisa di Italia.
Setelah puas melihat-lihat gereja tersebut, kami melewati museum-museum berbayar atas alasan berhemat, dan memilih untuk mendaki St. Paul Hill. Pendakian tersebut cukup melelahkan bagi kami, mengingat kami baru saja mengelilingi Jonker Street sepanjang pagi. Namun, begitu sampai di atas, kami tidak menyesal sedikit pun. Di atas bukit tersebut, ada reruntuhan Gereja St. Paul yang cantik, lengkap dengan pemandangan ke arah kota Melaka. Kami pun duduk-duduk di salah satu reruntuhan jendela, mengistirahatkan kaki sekaligus menikmati sejuknya angin.
Kami sempatkan juga mampir ke bekas reruntuhan A Famosa yang juga terkenal sebagai ikon Melaka. Karena hari sudah mulai sore, kamipun lalu mengambil tas kami di hostel, kemudian kembali ke Christchurch untuk menunggu bis umum yang akan membawa kami kembali ke Melaka Sentral Bus Station dengan tarif RM1 per orang.
24 jam di Melaka yang menyenangkan buat kami!
Lihat yg lebih 'menarik' di sini !
0 comments
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.