Muhammad Rafiq, Pengungsi Rohingya |
Matanya berkaca-kaca, suaranya bergetar, saat Muhammad Rafiq mengenang kembali kampung halamannya di Myanmar. Kesedihannya bertambah, ketika saudara Muslim Indonesia mendekap tubuh Rafiq sebagai tanda simpati.
Rafiq adalah salah satu pengungsi Muslim Rohingya asal Myanmar yang kini tinggal di Cisarua, Bogor. Ia bersama istri dan kedua anaknya baru sembilan berada di Indonesia. Sebelumnya ia terlunta-lunta di Bangladesh dan Thailand. Rafiq yang didampingi saudaranya, Din Muhammad, berkisah tentang kondisi terakhir Myanmar dengan bahaya Melayu.
“Saya baru 9 bulan berada di Indonesia. Di Bogor, saya tinggal bersama istri, dua anak, satu saudara saya. Sebelumnya saya mengungsi di Bangladesh selama satu bulan), Thailand Selatan (Patani) selama 1 tahun, perahu Nelayan, saya singgah di Tanjung Pinang (Indonesia) selama 8 hari, lalu ke Medan 3 hari 3 malam, sempat ke Kuningan (42 hari), hingga berakhir di Bogor. Saya difasilitasi oleh IOM dan UNHCR. Di sini, saya dikasih makan dan rumah kecil,” kata Rafiq.
Sebelum mengungsi, Rafiq bekerja sebagai penjual ikan di Arakan. Ia mencoba mengingat kembali pembantaian demi pembantaian yang dilakukan oleh junta militer Myanmar. “Rakyat Buddis pake baju militer, mereka bercampur dengan tentara, untuk membakar masjid.
Pukul 02.00-03.00 dinihari (waktu setempat), tentara mendatangi rumah-rumah penduduk. Anak-anak usia 12 sampai 17 tahun mereka bawa dengan mata tertutup dan tangan terikat, untuk kemudian diperkosa dan dibunuh. Ada diantaranya yang dipotong tangannya.”
“Selanjutnya, rumah warga dirampok, di bom Molotov. Yang jelas, sudah 36 masjid yang dibakar, 76 rumah yang juga dibakar, belum di tempat lain. Sungai-sungai penuh dengan orang mati.
Ketika ditanya apakah Muslim Rohingya melakukan perlawanan? Kata Rafiq, kalau kami bunuh satu orang saja, maka mereka akan membawa pasukan yang lebih banyak lagi. “Kita lawan, tapi tidak menang. Karena jumlah kami sedikit dan tidak memiliki senjata. Kami hanya menggunakan pisau dan kayu saja.”
Bagaimana dengan ulama Rohingya di sana? “Semua ulama sudah banyak yang ditangkap. Mereka dibunuh. Ada 10 ulama yang berjenggot ditutup matanya lalu dibawa ke mobil untuk ditangkap. Ulama di Myanmar sudah habis. Tidak ada lagi ulama yang menyerukan jihad,” ujar Rafiq sedih dan mengaku tak bisa tidur memikirkan kekejian junta militer Myanmar.
Selama di Bogor, Rafiq berusaha untuk mencari informasi, namun ia kehilangan kontak dengan saudara-saudaranya di Myanmar. Ia hanya bisa berkomunikasi dengan sesama pengungsi di Medan.
“Saya kontak ke Medan. Sudah tiga kali saya tanya, saya tidak dapat informasi terkini di Myanmar. Pernah saya kontak ke Myanmar, pulsanya cukup besar, Rp. 8000/menit. Saat ini Muslim Rohingya menyebar di sejumlah tempat di Indonesia, mereka ada di Tanjung Pinang, Medan, Kalideres (Jakarta), Kuningan dan Bogor.”
Saat ditanya, apakah anda akan memilih Indonesia sebagai tempat suaka atau sekedar transit saja untuk menuju negara tujuan, Australia? “Saya lebih suka di Indonesia. Di Australia, Muslimnya sedikit. (Voa-Islam)
Lihat yg lebih 'brutal' di sini !